Bahan Pengawet umumnya digunakan untuk mengawetkan pangan yang mempunyai sifat mudah rusak. Bahan ini dapat menghambat atau memperlambat proses fermentasi, pengasaman, atau penguraian yang disebabkan oleh mikroba. Akan tetapi, tidak jarang produsen menggunakan pada pangan yang relatif awet dengan tujuan untuk memperpanjang masa simpan atau memperbaiki tekstur.
Pengawet yang banyak dijual di pasaran dan digunakan untuk mengawetkan berbagai bahan pangan adalah benzoat, yang umumnya terdapat dalam bentuk natrium benzoat atau kalium benzoat yang bersifat lebih mudah larut. Benzoat sering digunakan untuk mengawetkan berbagai pangan dan minuman, seperti sari buah, minuman ringan, saus tomat, saus sambal, selai, jeli, manisan, kecap, dan lain-lain.
Penggunaan pengawet dalam pangan harus tepat, baik jenis maupun dosisnya. suatu bahan pengawet mungkin efektif untuk mengawetkan pangan tertentu, tetapi tidak efektif untuk mengawetkan pangan lainnya karena pangan mempunyai sifat yang berbeda-beda sehingga mikroba perusak yang akan dihambat pertumbuhannya juga berbeda. Pada saat ini, masih banyak ditemukan penggunaan bahan-bahan pengawet yang dilarang untuk digunakan dalam pangan dan berbahaya bagi kesehatan, seperti boraks dan formalin.
Pemakaian bahan pengawet dari satu sisi menguntungkan karena dengan bahan pengawet, bahan pangan dapat dibebaskan dari kehidupan mikroba, baik yang bersifat patogen yang dapat menyebabkan keracunan atau gangguan kesehatan lainnya maupun mikrobial yang nonpatogen yang dapat menyebabkan kerusakan bahan pangan, misalnya pembusukan, Namun dari sisi lain, bahan pengawet pada dasarnya adalah senyawa kimia yang merupakan bahan asing yang masuk bersama bahan pangan yang dikonsumsi. Apabila pemakaian bahan pangan dan dosisnya tidak diatur dan diawasi, kemungkinan besar akan menimbulkan kerugian bagi pemakainya; baik yang bersifat langsung, misalnya keracunan; maupun yang bersifat tidak langsung atau kumulatif, misalnya apabila bahan pengawet yang digunakan bersifat karsinogenik. Dalam kehidupan modern seperti sekarang ini, banyak dijumpai pemakaian bahan pengawet secara luas kebanyakan bahan pengawet memiliki ciri sebagai senyawa kimia yang relatif sederhana jika dibandingkan dengan senyawa kimia lainnya yang diperlukan untuk memberikan tingkat toksisitas yang selektif.
Banyak khalayak yang tertarik pada bahan pangan tertentu, seperti bahan pangan dalam kaleng dan botol atau dalam bentuk kemasan lainnya hasil produk industri bahan pangan. Masyarakat tentunya ingin mengetahui apa yang telah terjadi dan terdapat dalam bahan pangan yang dikemas secara menarik yang kemungkinan besar tidak dijumpai pada bahan pangan yang disiapkan atau dimasak sendiri.
Tanpa Bahan tambahan pangan, khususnya bahan pengawet maka bahan pangan yang tersedia di pasar atau di swalayan akan menjadi kurang menarik tidak dapat dinikmati secara layak, dan tidak awet, bahan pengawet yang ditambahkan umumnya sama dengan bahan pengawet pangan yang sebenarnya sudah terdapat dalam bahan pangan, tetapi jumlahnya sangat kecil sehingga kemampuan mengawetkan sangat rendah.
Pengertian bahan pengawet sangat bervariasi tergantung dari negara yang membuat batasan pengertian tentang bahan pengawet. Meskipun demikian penggunaan bahan pengawet memiliki tujuan yang sama, yaitu mempertahankan kualitas dan memperpanjang umur simpan bahan pangan. Bahan pengawet adalah senyawa yang mampu menghambat dan menghentikan proses fermentasi pengasaman, atau bentuk kerusakan lainnya, atau bahan yang dapat memberikan perlindungan bahan pangan dari pembusukan.
Cari Blog Ini
Translate
Senin, 31 Agustus 2015
Jumat, 28 Agustus 2015
Sejarah Surveilans
Surveilans merupakan salah satu unsur penting di dalam program pencegahan penyakit, baik penyakit menular maupun penyakit tidak menular, informasi dari hasil surveilans dapat dipakai sebagai salah satu bahan pertimbangan dalam penyusunan perencanaan pencegahan, penanggulangan dan pemberantasan penyakit, upaya penerapan (implementaion) serta evaluasi tindakan (intervensi) program kesehatan masyarakat. Selanjutnya data surveilans juga dapat dipakai pada beberapa kepentingan misalnya dalam penentuan perioritas kegiatan kesehatan masyarakat maupun untuk menilai efektifitas kegiatan.
Sesudah perang dunia II, ilmu kesehatan pada umumnya dan bidang epidemiologi khususnya, berkembang dengan pesat. Banyak negara telah dibebaskan dari penyakit-penyakit menular berbahaya sebagai hasil dari kemajuan tersebut. Pada program pemberantasan penyakit-penyakit menular mutlak diperlukan data penyakit untuk dipakai sebagai dasar perencanaan program. Untuk menilai (evaluation) keberhasilan program, dapat dilakukan dengan cara mengukur dampaknya terhadap penyakit-penyakit yang masuk dalam program pemberantasan. Data yang diperlukan tidak terbatas pada data tentang penderita saja akan tetapi kita juga harus mengumpulkan keterangan-keterangan tentang tempat dan waktu kejadian dan faktor-faktor lain yang berhubungan dengan penyakit itu sendiri. Selanjutnya bila kita telah mengenal penyakit tersebut maka dapat dibuat suatu perencanaan tindakan yang paling efisien dan efektif.
A. Sejarah Singkat Perkembangan Surveilans
Pada awalnya surveilans hanya berkaitan dengan penyakit yang mengancam jiwa manusia saja, sehingga kematian karena penyakit tertentu saja yang menjadi perhatian pada saat itu.
a. Pada abad 14 dan 15
Sekitar tahun 1348 di Eropa terjadi epidemic atau wabah penyakit pneumonia karena pes dan dikenal dengan istilah " Black Death" untuk itu dilakukan deteksi terhadap penyakit tersebut dan ini merupakan tindakan yang dapat dianggap sebagai kegiatan surveilans yang dilakukan secara primitive oleh suatu negara di benua Eropa untuk pertama kalinya.
b. Pada Abad ke 16
Pencatatan kematian mulai dilakukan di beberapa kota besar di negara-negara Eropa. Namun demikian baru beberapa abad kemudian, oleh John Graunt memperkenalkan manfaat hasil pencatatan secara ilmiah.
c. Pada Abad Ke 17
Pada zaman tersebut, pencatatan kematian yang dilakukan secara sporadis dan hanya dilakukan bila ada wabah pes, mulai ditertibkan. Laporan mingguan secara ilmiah disusun pertama kalinya oleh John Graunt pada tahun 1662. Laporan ini membuat informasi tentang jumlah penduduk London dan jumlah yang meninggal karena sebab tertentu. Dengan demikian john Graunt adalah orang pertama kali mempelajari konsep jumlah dan pola penyakit secara epidemiologi.
d. Pada Abad 18
Johann Peter Frank (1776) melaksanakan tindakan surveilans dengan mangangkat polisi kesehatan Jerman, yang tugasnya berkaitan dengan pengawasan kesehatan anak sekolah, pencegahan kecelakaan, pengawasan kesehatan ibu dan anak dan pemeliharaan sanitasi air serta limbah. Tahun 1741 negara bagian Rhode Island mengeluarkan peraturan bahwa pegawai restoran wajib melaporkan penyakit menular yang diderita oleh rekan-rekannya. Dua tahun kemudian, negara bagian ini menyetujui keharusan lapor bagi penderita cacar, demam kuning dan cholera.
e. Pada Abad 19
William Farr dikenal sebagai penemu konsep surveilans secara modern. W. Farr bertugas mengumpulkan, mengolah, menganalisis dan menginterpretasikan statistic vital serta menyebar luaskan hasilnya dalam bentuk laporan mingguan, bulanan dan tahunan. Tindakan ini diikuti oleh beberapa rekannya. Karena jasa-jasanya tersebut W.Farr dikenal sebagai bapak pendiri konsep surveilans secara modern.
f. Pada abad 20
Pada abad ini, pemakaian konsep surveilan untuk pendeteksian epidemi dan pencegahan penyakit untuk dikenal. Pada tahun 1889 Inggris Raya mulai mengeluarkan peraturan wajib lapor penyakit-penyakit infeksi. Pada saat ini jenis-jenis penyakit yang harus dilaporkan di Amerika Serikat bertambah banyak, termasuk HIV/AIDS positif. Pada tahun1965 didirikan Unit surveilans Epidemiologi pada divisi penyakit menular di WHO Pusat, Genewa.
Langganan:
Postingan (Atom)